Saturday, April 26, 2008

Tiara-Yuke / 17-22
















Wawancara (Tiara-17 & Yuke-22)

Selama hampir 2 tahun kami bersekolah disini, jadi kami pasti mengerti kalau ada yang menyebut ‘om kantin pinggir’. Ya, kebanyakan anak Sanur memang tidak tahu siapa nama asli si om yang bersangkutan, tapi kita hanya mengenalnya dari aktivitasnya tiap hari saat menyiapkan makanan buat kita semua bersama beberapa pegawainya, juga dari letak kiosnya di sudut paling kiri kantin – yang memunculkan panggilan ‘om kantin pinggir’ dari anak-anak Sanur. Mengingat eksistensinya -sebagai penyedia konsumsi sehari-hari- yang cukup vital bagi murid-murid seperti kita, jadi kami rasa tak ada salahnya kami mengulas sedikit lebih jauh tentang si om yang sebenarnya bernama asli Biantoro Setiawan ini.

Om Pinggir –kami memutuskan memanggilnya begitu mengingat nama inilah yang lebih familiar bagi komunitas Sanur- sudah 3 tahun lebih berjualan di kantin Sanur, tepatnya sejak 18 Agustus 2004. Sebelumya si om adalah seorang kontraktor yang juga nyambi kerja sebagai pengusaha travel dan kafe, namun tawaran dari Suster akhirnya membawanya bekerja di kantin Sanur sampai sekarang. Si om menerima tawaran tersebut karena ia suka menghadapi anak-anak, terutama anak kecil yang menurutnya lucu dan menggemaskan.

Di kantin Sanur, Om Pinggir tidak bekerja sendirian. Ia dibantu oleh 3 orang karyawan, yang hampir semuanya sudah ikut bekerja bersama si om sejak awal kantin si om dibuka. Ketiga karyawan ini adalah Siti, Tri, dan Yati. Lalu istri si om kemana? Kok tidak pernah terlihat di kantin? Ternyata istri si om sibuk dengan pekerjaannya sebagai karyawan bank sekaligus pengusaha catering. Jadi sejauh ini, peranan si tante dalam mendukung usaha kantin si om ‘hanya’ memberi resep dan juga menciptakan menu-menu baru agar kita tidak bosan, meskipun sebenarnya peranan si tante kurang tepat kalau kami sebut ‘hanya’.

Demi mengisi ruang kosong di perut anak-anak Sanur, setiap harinya si om berangkat dari rumahnya di Jelambar, Jakarta Barat pukul 7 pagi. Setibanya di Sanur, bersama ketiga pegawainya si om bergegas menyiapkan peralatan-peralatan masak dan bahan makanan yang akan disajikan nanti. Kantin si om buka setiap harinya dari jam 8 sampai jam 3 sore. Kira-kira berapa keuntungan yang si om dapat setiap harinya? Ternyata si om tidak pernah menghitung, atau tepatnya tidak pernah sempat menghitungnya, karena setipa saat kantin selalu penu dibanjiri anak-anak yang kelaparan ingin segera makan, jadi si om sendiri tidak tahu dan tidak begitu peduli berapa besar yang sudah ia dapatkan tiap harinya. Meskipun begitu, si om sempat mengeluhkan kondisi kantin yang tidak selaku sebelumnya, seperti 2 tahun lalu saat kantin sedang laris-larisnya. Om Pinggir bererita, 2 tahun lalu ia sampai harus mempekerjakan 5 orang pegawai, bahkan sampai istri si om pun harus ikut turun tangan. Sekarang, termasuk si om, di kantin itu hanya ada 4 orang.

Tapi, apakah si om senang bekerja di kantin Sanur? Dengan pasti ia menjawab ya, karena –seperti yang sudah ia sebutkan tadi- ia suka anak-anak. Lalu dukanya? Para pegawai om ikut menjawab, sekolah jarang memberi informasi kalau anak-anak akan dipulangkan lebih cepat, jadi makanan yang sudah disiapkan sering mubazir. Selain itu, anak-anak SD banyak yang sering berhutang dan lupa membayar. Namun si om bisa maklum, baginya itu wajar karena anak SD memang uang sakunya tidak sebanyak anak SMP atau SMA, jadi ia tidak keberatan kalau mereka hanya mampu membayar sesuai banyak uang yang mereka punya, meskipun kurang dari harga makanan yang seharusnya.

Rencana kedepannya, apakah si om masih ingin bekerja sebagai ‘juragan kantin’? Jawabannya: serahkan saja pada Tuhan. Kata si om, ia tidak mau berencana karena Tuhan sudah punya rencana sendiri buatnya.Si om masih ingin berada di kantin Sanur, tapi sekali lagi, semua itu ia pasrahkan pada kehendak Tuhan. Kalau Tuhan ingin saya disini, maka disinilah saya, begitu ucapnya menutup perbincangan kami.

REFLEKSI PRIBADI (YUKE - 22)
Saya kagum dengan si om, karena zaman sekarang ini tentu jarang ada orang yang mau bekerja di kantin sekolahan, mengingat besarnya keuntungan yang tidak tetap tiap bulannya. Tapi si om tetap bertahan di Sanur dan tetap mencintai pekrejaannya atas dasar rasa cintanya terhadap anak-anak. Jujur, saya ingin bisa seperti si om, bekerja atas dasar hati dan bukannya materi.
REFLEKSI PRIBADI (TIARA – 17)
Om telah melakukan suatu pekerjaan yang sederhana secara manusiawi. Namun dengan motivasi yang begitu mulia, ia telah menunjukkan eksistensi yang lebih berbeda dan memberikan warna yang positif bagi kehidupannya. Bagi saya, motivasi utama dari seorang pribadi yang begitu sederhana ini dapat menjadi inspirasi yang begitu luar biasa. Saya dapat belajar untuk lebih memaknai segala hal yang terjadi di dalam hidup dengan penuh rasa syukur dan lebih menyerahkan diri sepenuhnya ke dalam rencana Tuhan. Keuntungan secara materi tidak pernah menjadi tujuan utama dalam setiap pekerjaan yang dilakukan oleh Om Biantoro. Secara jujur ia menjalani profesi ini sebagai rasa cintanya pada anak-anak dan keinginan untuk melayani orang lain. Dengan melihat kenyataan ini, kita patut bercermin diri dan berusaha untuk melakukan pekerjaan dan tanggung jawab, bukan sebagai sarana untuk mencari kemuliaan diri, akan tetapi lebih kepada pelayanan yang penuh terhadap Tuhan dan sesama.










FOTO KETINGGALAN! hehehe gatau cara postnya -.-

Di Balik Usaha Nasi Goreng Pak Heru - Wawancara by Noni & Marlyn












Sore itu saat kami datang dan menyampaikan keinginan kami untuk mewawancarainya, seorang penjual nasi goreng di kawasan kompleks perumahan Gaind Arcadia, Kelapa Gading itu menerima kami deng aseulas senyuman ramah dan anggukan. Walau nampak lelah, ia tetap menerima kami dengan senang hati.

Pak Heru yang berusia 31 tahun dan berasal dari Kuningan, Jawa Barat ini adalah seorang penjual nasi goreng dan telah menjalani profesinya sebagai penjual nasi goreng sejak 6 tahun silam. Setelah tamat Sekolah Menengah Pertama, Pak Heru tidak melanjutkan sekolah karena keterbatasan ekonomi keluarganya. Ia pun segera berangkat ke Jakarta untuk mencari pekejaan. Awalnya ia bekerja sebagai kuli bangunan dan bekerja untuk proyek pembangunan sebuah rumah. Setelah rumah tersebut selesai di bangun, Pak Heru otomatis menganggur. Ia berusaha mencari pekerjaan lain kesana-kemari namun Ia tidak juga memperoleh pekerjaan. Ia sempat putus asa karena tidak juga memperoleh pekerjaan sedangkan kebutuhan hidup sehari-hari tidak dapat dihindari dan mendesak untuk dipenuhi.


Karena keinginannya yang kuat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa membebani orang tua, Pak Heru tetap berusaha mencari pekerjaan dan siap untuk bekerja apa saja, yang penting Ia memperoleh penghasilan. Hingga akhirnya ada seorang temannya yang berprofesi sebagai penjual nasi goreng keliling mengajaknya untuk menjadi pedagang nasi goreng. Ia pun menerima ajakan temannya tersebut dan meminta diajari cara membuat nasi goreng.

Hanya dalam waktu tiga hari, Pak Heru sudah dapat membuat nasi goreng dan memulai usahanya sendiri. Berbekal gerobak seadanya, ia memulai usaha berjualan nasi goreng di kompleks Janur Kuning, Kelapa Gading. Rasa nasi goreng yang pas dan enak membuat dagangannya cukup laku dan memberinya keuntungan sehingga ia bisa membeli sebuah gerobak lagi dan membuka cabang di depan Karaoke Inul Vista di kawasan Kelapa Gading. Cabang tersebut dikelola oleh temannya dan penghasilan dari cabang tersebut dibagi dua.

Sekitar setahun yang lalu, ada seorang pelanggan yang memuji kelezatan nasi goreng buatan Pak Heru dan menawarkan untuk bekerja di kantin milik pelanggan tersebut. Pak Heru pun setuju dan mulai saat itu, Ia berjualan di rumah pelanggan tadi yang memang membuka kantin di garasi rumahnya yang terletak di kompleks perumahan Gading Arcadia, Kelapa Gading. Setiap bulan Ia memperoleh gaji dari pemilik kantin tersebut sebesar 35% dari total penghasilan per bulan. Dalam sehari Ia bisa memperoleh penghasilan sekitar seratus ribu Rupiah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup Pak Heru dan keluarganya. Selain itu, Pak Heru juga tidak lupa menyisihkan sebagian penghasilan bulanannya untuk kedua orang tua di kampung sebagai perwujudan baktinya pada orang tua.

Selama 6 tahun bekerja sebagai penjual nasi goreng, Pak Heru mengakui banyak suka duka yang Ia alami. Jika banyak pelanggan yang membeli, Ia sudah sangat senang. Tapi jika dagangannya sepi, Ia merasa sedih dan sekali waktu pernah juga merugi. Pak Heru sudah merasa bersyukur pada Tuhan bisa memperoleh pekerjaan yang gajinya bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Ia tidak merasa minder dan malu menjadi penjual nasi goreng. Baginya yang penting pekerjaannya halal. Meski ada keinginan untuk bisa memperoleh pekerjaan yang lebih baik dan gaji yang lebih tinggi, Pak Heru tetap bersyukur dan ikhlas serta senantiasa mempasrahkan hidup dan masa depannya pada Yang Kuasa. “Yah, moga-moga kalo Tuhan mengizinkan saya dikasi rejeki lebih, Alhamdulilah saya bisa buka restoran sendiri.”



Refleksi Pribadi

Setelah mewawancarai Pak Heru, saya benar-benar merasa kagum. Dari percakapan yang singkat itu, saya sudah dapat melihat bahwa Pak Heru adalah orang yang kaya akan nilai-nilai hidup. Sesuatu yang menurut saya cukup langka bagi orang-orang zaman sekarang.Pertama, Pak Heru adalah orang yang beriman. Mengapa saya dapat menyimpulkan demikian? Karena Ia ikhlas dan tetap bersyukur meski Ia hanya bekerja sebagai penjual nasi goreng. Meski memiliki cita-cita sendiri, Ia tetap mempasrahkan masa depannya pada Tuhan. Ia juga selalu kelihatan tersenyum yang menandakan bahwa Ia selalu bersyukur.
Kedua, Pak Heru adalah seorang pekerja keras dan ulet. Tidak seperti penjual-penjual lainnya yang sering mengeluh dan banyak bicara, Pak Heru lebih banyak diam dan bekerja dengan cekatan. Tidak sampai sepuluh menit nasi goreng buatannya sudah siap disantap.
Ketiga, Pak Heru adalah orang yang mandiri dan berbakti pada orang tua. Meski masih muda belia dan tidak tahu apa-apa, ketika lulus Sekolah Menengah Pertama Pak Heru berusaha mencari pekerjaan demi membantu ekonomi keluarganya. Ia juga tidak ingin menggantungkan hidupnya dengan membebani kedua orang tuanya.
Keempat, Pak Heru adalah orang yang sangat pandai me-manage segala sesuatu dalam hidupnya. Ia dapat mengatur seluruh keuangan dan keperluan hidupnya serta mampu memotivasi dirinya untuk berbuat sesuatu demi kemajuannya tanpa perlu motivasi dan dukungan orang-orang terdekatnya, yaitu keluarga.
Bercermin dari pribadi Pak Heru, saya jadi tertantang untuk dapat lebih mengembangkan nilai-nilai hidup dalam diri saya. Bahkan saya sempat merasa malu karena saya yang berpendidikan lebih tinggi dan dibesarkan dalam keluarga yang selalu mendukung saya saja tidak memiliki motivasi dan semangat juang yang tinggi seperti Pak Heru. Selain itu dari wawancara ini saya belajar untuk bersyukur atas segala berkat Tuhan yang telah saya peroleh, mengingatkan saya untuk berbakti pada orang tua dan belajar untuk berpasarah pada kehendak Tuhan. Yang pasti, wawancara dengan Pak Heru membuat saya belajar tentang banyak hal penting dalam hidup.
(Angeline Iskandar XIBah-1)

Setelah melakukan wawancara dengan Pak Heru, saya jadi sadar betapa Tuhan itu sebenarnya sudah sangat baik karena telah memberikan berkat bagi kehidupan saya sehingga saya bisa hidup berkecukupan seperti sekarang ini. Masih banyak orang di luar sana yang tidak seberuntung saya, malah banyak dari antara mereka, seperti contohnya Pak Heru, yang sudah harus bekerja untuk membantu menghidupi keluarganya di saat ia seharusnya masih bersekolah. Saya jadi lebih bisa mensyukuri apa yang telah saya terima sekarang karena saya sadar bahwa semua yang telah Tuhan berikan pasti adalah yang terbaik bagi hidup saya, meskipun seringkali mungkin hal itu tidak sesuai dengan keinginan saya sendiri. Saya jadi malu pada diri saya sendiri, Pak Heru yang kehidupan ekonominya pas-pasan atau bahkan kurang itu saja masih bisa selalu mengingat Tuhan, masih bisa selalu mengucap syukur, sedangkan saya seringkali mengeluh atas apa yang telah saya peroleh dan terus-menerus menuntut lebih. Pak Heru juga menyadarkan saya bahwa apapun yang terjadi dalam hidup ini, kita jangan pernah melupakan orangtua kita karena berkat orangtualah kita bisa hidup dengan baik sampai saat ini. Jangan pernah melupakan jasa mereka dan terus berbaktilah pada mereka meskipun kita sudah menjadi oran gyang skses nantinya. Seperti yang telah dikatakan oleh Noni, wawancara dengan Pak Heru telah menyadarkan saya akan nilai-nilai hidup yang selama ini mungkin telah saya lupakan.
(Marlyn XIBah-13)

wawancara dengan seorang pembantu rumah tangga

Nama mba siapa?

Nama saya Lia.

Pekerjaan mba sehari-hari sebagai ap?

Pembantu rumah tangga.

Sudah berapa lama mba bekerja?

Kurang lebih 5 tahun.

Biasanya mba kerja dari jam berapa sampai jam berapa?

Dari jam 08.00 pagi sampai 17.00 sore.

Mengapa mba memilih untuk bekerja seperti ini?

Karena orang tua saya sudah tidak mampu membiayai sekolah. Ayah saya juga sudah tidak ada. Ibu saya mempunyai penyakit yang parah dan membutuhkan biaya banyak untuk bisa sembuh. Sanak saudara saya juga pekerjaannya tidak cukup untuk membiayai pengobatan ibu saya, apalagi mereka sudah berkeluarga.

Perasaan mba saat pertama kali bekerja menjadi PRT?

pertamanya sih saya ragu dengan pekerjaan ini. Tapi lama kelamaan saya jadi bisa menjalaninya dengan baik.


Gaji mba per bulan kira-kira cukup ga buat memenuhi kebutuhan?

kalau boleh jujur, gaji saya kurang cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi sebisa mungkin saya atur sehingga itu mencukupi.


Kira-kira, mba bakal melanjutkan pekerjaan ini untuk seterusnya atau memilih untuk mencari pekerjaan lain?

kalau dapat yang bagus, ya lebih baik pindah kerja. Tapi kalau tidak, ya tetap ngejalanin aja. Selama ini sih saya belum pernah memikirkan untuk pindah kerja karena mencari pekerjaan itu susah.


Apakah mba pernah merasa minder dengan pekerjaan mba?

pertama kali bekerja sih sempat merasa minder. Tapi lama kelamaan tidak lagi.


Pernah diremehkan orang lain ga mba atas pekerjaan ini?

pernah, waktu pertama kali saya tiba di rumah majikan saya.

Marsha XI Bahasa - 14

Shinta XI Bahasa - 21



refleksi pribadi Marsha:

setelah saya mewawancarai seorang pembantu rumah tangga, ternyata tidak mudah untuk menerimanya karena sering mendapat celaan dan hinaan atas pekerjaan tersebut. saya menyadari pula kalau mencari pekerjaan atau mencari nafkah itu tidak mudah dan harus menemukan pekerjaan yang benar-benar sesuai dengan diri kita masing-masing. selain itu, kita jangan menyia-nyiakan uang yang diperoleh dari hasil pekerjaan orang tua karena walaupun begitu, orang tua kita sudah bersusah payah bekerja untuk mendapatkan nafkah yang digunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. dan juga jangan meremehkan pekerjaan orang lain.

refleksi pribadi Shinta :

pekerjaan tiap orang berbeda-beda tergantung dari bakat dan kemampuan masing-masing. kita jangan mudah putus asa dalam mencari atau menjalani pekerjaan tersebut karena demi mendapatkan nafkah untuk pemenuhan kehidupan sehari-hari. jangan pernah menganggap remeh pekerjaan orang lain, walaupun hanya sebagai pembantu rumah tangga karena semua pekerjaan di mata Tuhan itu sama dan yang penting mendapat nafkah dari cara yang baik di mata Tuhan.

Wawancara

Wawancara:

Siang hari kami menemui Pak Tumiran di Gereja Bonaventura, Pulo Mas. Beliau telah bekerja selama 17 tahun di sana sebagai satpam. Pak Tumiran yang akrab disapa Pak Tum ialah seorang bapak yang ramah dan menyenangkan. Ketika diwawancara pun bapak kelahiran Boyolali, 14 November 1972 ini kerap bercanda dan menjawab pertanyaan kami dengan santai, membuat kami senang berbincang dengannya. Yang unik dari pak Tum ialah, meski bekerja untuk Gereja Katolik, ia ternyata beragama Islam. Ceritanya, beliau mendapatkan pekerjaan ini dengan bantuan seorang umat dari Gereja tersebut. Pada saat itu ia memutuskan untuk mencoba pekerjaan menjadi satpam di gereja. Pekerjaanya menjaga Wisma Pastoran Paroki Bonaventura dan mengontrol keaman tamu yang masuk ke gereja dan ke luar Gereja. Selain itu di saat misa ia juga menjaga mobil-mobil umat Gereja. Memang pekerjaannya terlihat biasa saja dan menjenuhkan, namun baginya pekerjaan itu yang membuatnya nyaman dan bahagia meski terkadang tidak lepas dari kejenuhan. Baginya semua yang ia lakukan ialah untuk melayani sesamanya dan mencari nafkah bagi keluarganya. Ia merasa nyaman berada di lingkungan Gereja karena didukung oleh orang-orang yang berada di sekitarnya yang membuat Pak Tum giat bekerja. Meski Pak Tum bekerja menjadi satpam bukan berarti ia bekerja seharian, ia bekerja di gereja hanya 6 jam dan sisanya merupakan waktunya berkumpul bersama keluarganya di rumah. Ia juga tidak lupa melaksanakan sholat 5 waktunya meski bekerja di gereja karena bagi Pak Tum hidup ini berasal dari Tuhan yang harus disyukuri.

Refleksi Ninis/4:

Etos kerja ialah suatu pedoman atau prinsip yang menjadi dasar atau motivasi seseorang melakukan atau mengerjakan sesuatu. Setiap orang tentunya memiliki etos kerja yang berbeda-beda menurut pemikiran dan pribadinya. Kebanyakan orang berpendapat bahwa bekerja asal berpenghasilan banyak dan menjadi kaya. Namun menurut saya yang terpenting dari bekerja ialah bahwa kita menikmatinya dan belajar dari pekerjaan kita. Seperti pak Tum, beliau bekerja sebagai satpam yang gajinya tidak besar, namun ia menikmati pekerjaannya dan juga belajar dari situ. Ia menikmatinya karena baginya pekerjaannya ialah untuk melayani sesama dan menolong orang lain. Ia juga banyak belajar selama 17 tahun menjadi satpam, yaitu bagaimana mensyukuri dan memaknai hidup meski dengan hidup yang sederhana.
Selain itu, saya juga sangat kagum karena meskipun pak Tum beragama Islam, beliau dapat bertahan bekerja di Gereja selama 17 tahun. Hal ini jelas-jelas menunjukkan bahwa beliau ialah orang yang tidak membeda-bedakan agama, seperti yang banyak orang lakukan sekarang ini. Beliau dapat membaur dengan sangat baik dengan umat Gereja tanpa melihat perbedaan agama. Beliau bahkan banyak belajar dari hubungannya dengan umat Gereja, ia belajar bahwa persaudaraan sejati membawa kedamaian yang menentramkan.
Kesimpulannya, seberapapun sederhana pekerjaan kita, seberapapun ’rendahnya’ pekerjaan kita di mata orang lain, asalkan halal dan kita nikmati, kita pasti mendapatkan banyak hal yang berguna. Dan yang paling penting ialah bahwa kita harus selalu menyertakan ajaran Tuhan dalam setiap pekerjaan kita, karena ajaranNya selalu baik dan menyejukkan jiwa.



Refleksi Meirna/15:

Etos kerja adalah sesuatu keyakinan seseorang yang mendasar sebagai panduan tingkah laku dalam hidupnya. Tiap manusia dalam bekerja memiliki tujuan yang berbeda-beda tapi yang paling utama biasanya untuk mencari nafkah dan kepuasan diri. Ternyata dibalik kepuasan diri tersebut tidak akan ada artinya apabila kita tidak menyertai Tuhan di dalam usaha kita di dalam bekerja.
Saya terkesan dengan Pak Tumiran yang memilih bekerja di Gereja meskipun beliau beragama islam atau seorang muslim. Ternyata kepercayaan agama tidak membuat halangan orang di dalam bekerja. Yang paling utama bagi Pak Tumiran adalah beliau dapat melayani umat-umat di gereja dengan tulus dan selalu menyayangi orang-orang yang ada di sekitarnya. Meski beliau menjadi satpam namun Pak Tumiran memiliki waktu yang tidak kalah banyak bagi keluarganya. Ia tidak pernah lupa bersyukur kepada Tuhan apa yang telah beliau dapatkan, begitu juga dengan pekerjaan yang ia dapatkan sebagai satpam. Ternyata 17 tahun beliau dapat melewati kehidupannya bekerja sebagai satpam dan komentarnya ia sangat nyaman sekali bekerja di Gereja. Meski terkadang kehidupannya tidak lepas dari kejenuhan, tetapi ia selalu menyukuri apa yang telah ia miliki. Karena baginya bekerja merupakan rahmat yang Tuhan berikan kepadanya untuk dapat melayani sesamanya.
Di dalam hidup kita memang selalu mengharapkan yang lebih dan lebih terus, hingga terkadang kita menuntut Tuhan untuk memberikan kita pekerjaan yang lebih baik. Kita dapat mencontoh Pak Tumiran seorang satpam yang sederhana yang memaknai hidupnya dengan rasa syukur meski pekerjaannya biasa saja. Baginya bekerja melayani orang lain misalnya dengan menjaga posko, mobil-mobil umat yang diparkir, menjaga wisma gereja membuat hatinya bahagia ketika usaha dalam melaksanakan tugasnya membuat orang lain senang.
Maka dari itu kita sebagai manusia harusnya dapat menyukuri apapun pekerjaan yang kita dapatkan dan tentunya kita harus melkukan tugas kita secara maksimal agar apa yang kita lakukan bermanfaat bagi orang lain dan memberikan kebahagiaan bagi orang lain. Tapi semuanya itu tidak lepas dari kuasa Tuhan, maka dari itu kita juga harus melibatkan kuasa Tuhan dalam bekerja atau melakukan sesuatu. Bekerja juga merupakan rahmat yang kita terima dari Tuhan untuk dapat melakukan tugas kita di dunia untuk melayani sesama kita di dunia. Dengan mengulurkan tangan kita bagi siapapun yang membutuhkan pertolongan kita, berarti kita memaknai hidup dengan ajaran Tuhan.

Refleksi Pribadi : Beta/XI Bahasa/8

Kesan pertama yang saya dapatkan pada saat saya dan Riri mewawancarai seorang trolley boy di sebuah hypermarket di Jakarta adalah saya merasa kasihan melihat orang tersebut mengerjakan pekerjaan yang amat sangat melelahkan, di mata saya. Saat itu saya berpikir pastilah imbalan yang ia dapatkan tidak besar. Bahkan mungkin tidak mencukupi untuk menghidupi keluarganya. Di antara rasa iba itu saya sempat berpikir itu disebabkan karena mereka yang tak menempuh pendidikan tinggi. Salah mereka sendiri. Kemudian terlintas di benak saya, bahwa mereka tak bersekolah tinggi pasti karena masalah biaya. Maka rasa iba itu kembali menyelimuti hati saya.
Saat melakukan wawancara, si trolley boy tersebut mengatakan bahwa ia merasa tak puas bekerja menjadi seorang trolley boy. Hal ini disebabkan karena gajinya yang tak besar, sementara tempat tinggalnya sangat jauh dari tempatnya bekerja, dan ia mempunyai banyak tanggungan keluarga. Memang, jika dilihat dari gaji dan prestise pekerjaan tersebut memang tak menguntungkan. Tetapi, menurut saya bagaimanapun pekerjaan yang kita dapatkan, kita perlu menyadari bahwa Tuhan hadir di dalamnya dan kita berkarya bersama Tuhan. Oleh karena itu kita harus memaknai pekerjaan kita sebaik-baiknya agar terasa manfaatnya bagi orang lain.
Untuk orang-orang seperti Andre, begitu sang trolley boy biasa dipanggil, arti bekerja hanyalah sekedar mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bahkan, ketika kami bertanya tentang nilai-nilai hidup yang ia peroleh dalam pekerjaannya, ia agak kesulitan menjawabnya. Saya pikir wajar saja ia mempunyai pola pikir seperti itu, toh ia memang terhimpit keadaan yang serba sulit. Dari situlah saya menyadari bahwa memang tak mudah memperoleh uang, apalagi jika pendidikan tidak tinggi. Oleh karena itu saya menjadi disadarkan untuk bersyukur dan tidak menghabiskan uang yang saya miliki atau uang orang tua saya, sebab ternyata pada kenyataannya masih banyak orang-orang di luar sana yang sangat berkekurangan, bahkan sampai tak bisa mencari nilai-nilai yang ia dapatkan di samping gaji. Hal itu terjadi karena ia hanya memikirkan bekerja untuk mencari uang saja.

Sang Instruktur.... (Dian/9, Ivana/10)




















TUGAS RELIGIO

XI BAHASA
Dian (9)
Ivana (10)

Kelompok kami memutuskan untuk mewawancarai seorang instruktur pengemudi yang bekerja di Sekolah Mengemudi Mangga Besar (PT Persemija) yang bernama Bapak Sugeng. Berikut hasil wawancara kami:

Bapak Sugeng, sebenarnya sudah berapa lama ya bekerja sebagai instruktur pengemudi di sini?
Ya udah cukup lama sih. Saya udah enam tahun tuh kerja di sini.

Sebelum bekerja sebagai insruktur pengemudi, bapak bekerja sebagai apa?
Dulu saya sempat jadi guru kecil-kecilan di desa saya.

Wah, hebat dong. Bapak memang tadinya mengajar apa?
Matematika.

Oh, bapak memang aslinya tinggal di mana? Di dekat sini juga?
Oh nggak. Sebenarnya saya tinggal di daerah Jawa sana. Terpaksa saya harus nyari uang lebih banyak untuk keluarga saya, ya jadinya saya ke Jakarta.

Lalu apa yang membuat bapak memilih untuk bekerja sebagai instruktur pengemudi?
Sebenarnya saya nggak dibolehin sama istri saya untuk bekerja yang membuat saya terlalu capek. Ya akhirnya saya sempat jadi supir, tapi cuma sebentar. Enggak sampai satu tahun. Terus saya diberitahu sama teman saya supaya jadi instruktur mengemudi saja. Ya udah saya melamar di Persemija ini. Tapi Alhamdulillah saya diterima dan saya suka banget sama pekerjaan saya ini. Mungkin karena saya dulu sempat jadi guru kali ya, jadi saya masih senang dengan pekerjaannya yang ada mengajar-mengajarnya.

Terus kenapa bapak nggak jadi guru di sini lagi saja?
Ah, nggak ah. Kalau guru-guru di Jakarta kan pintar-pintar. Saya sih belum sampai seperti itu. Makanya saya nggak berani ngelamar jadi guru di Jakarta. Udah pasti nggak diterima, de. Hahahaha….

Tapi kalau boleh saya tahu, apakah gaji di sini cukup untuk membiayai keluarga bapak?
Oh cukup kok.

Lalu apakah bapak pernah mempunyai pikiran untuk ganti pekerjaan lain? Ada nggak pekerjaan yang sebenarnya bapak harap-harapkan dari dulu?
Kalau sekarang sih nggak ada. Kayaknya saya ingin bekerja seperti ini saja sudah cukup kok. Tapi dulu sempat saya punya pikiran mau bekerja jadi montir, tapi nggak jadi. Saya takutnya kalau saya ganti pekerjaan, terus ternyata pekerjaan saya yang baru nggak enak, kan susah balik lagi ke pekerjaan semula. Takut nggak keterima. Sekarang saya merasa jadi instruktur mobil udah enak kok, de. Udah senang.

Apakah harapan Bapak Sugeng selama bekerja di sini?
Inginnya sih gajinya saya naik. Jadi saya bisa kirim uang lebih banyak ke keluarga saya di Jawa.


REFLEKSI PRIBADI:





(Ivana – XI Bahasa/10)

Seringkali saya berpikir seperti apakah kehidupan yang akan saya alami kelak saat dewasa nanti. Pekerjaan seperti apakah yang akan saya lakukan untuk mengisi masa depan saya. Apakah cita-cita yang saya miliki sekarang akan dapat saya capai, ataukah saya akan menjalani kehidupan/ karir yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya.
Semakin lama saya semakin menyadari bahwa apapun jalan kehidupan yang sedang kita lalui harus kita lalui dengan bersungguh-sungguh. Dengan kata lain keseriusan kita dalam menentukan cita-cita kita harus ditunjukkan melalui keseriusan kita dalam melalui setiap tahap kehidupan kita, baik dalam menghadapi hal-hal yang telah kita duga sebelumnya maupun yang tidak disangka-sangka. Seperti yang ditunjukkan dalam wawancara di atas, maka kita harus mampu melakukan yang terbaik dalam menghadapi tantangan-tantangan hidup yang senatiasa berubah-ubah. Kita harus selalu berkeyakinan bahwa Tuhan akan memberikan berkatnya apabila kita melakukan yang terbaik dengan tujuan yang baik pula.
Menurut saya, manusia tidak akan pernah mengetahui tujuan akhir kehidupannya dengan pasti, namun Tuhan senantiasa membekali kita dengan sebaik-baiknya dalam menempuh setiap jalan kehidupan. Oleh karena itu apapun yang nantinya menjadi tujuan hidup saya, bagi saya yang penting adalah bagaimana kita menempuh perjalanan dalam mencapai tujuan tersebut. Kebahagiaan hidup ada dalam perjalanan mencapai cita-cita kehidupan itu sendiri.





(Dian / 9)


Setelah saya melakukan wawancara kemarin, saya merasa bahwa saya harus lebih bisa menghargai hidup saya. Karena, saya yang bisa lebih dikatakan berkecukupan, setelah dibandingkan dengan orang-orang di luar sana, saya merasa bahwa saya harus bisa seperti mereka, lebih bisa bersyukur dan lebih bisa menerima apa yang sudah Tuhan berikan kepada saya, karena itulah saya bisa belajar mengenai kehidupan yang lebih sederhana dan dapat menghargai hidup.